Berikut ini adalah tulisan saya sesaat setelah berita pernikahan Aa Gym tahun 2007.
Silakan dikomentari atau dikritisi 🙂
Bismillahirrahmaanirrahiim
Saya menulis tulisan ini semata mata ingin mengungkapkan kegundahan perasaan saya berkenaan dengan praktek poligami, khususnya poligami yang dipraktekkan oleh Aa Gym beberapa waktu yang lalu. Mudah mudahan dengan ungkapan perasaan saya ini ada diantara saudara saudara yang bisa memberikan pencerahan sehingga semakin bertambah ilmu yang saya miliki, dan tentu saja keimanan terhadap dienullah al Islam ini.
Saya akan memulai tulisan saya dengan sebuah pertanyaan. Misalkan anda seorang laki – laki mapan, memiliki istri dan beberapa anak yang masih kecil yang membutuhkan keluarga sebagai madrasah pertama dalam kehidupan mereka. Anda tidak mempunyai masalah dalam kehidupan rumah tangga anda, baik itu masalah seksual ataupun masalah lain yang membuat hidup anda dan keluarga anda menjadi tidak harmonis. Kemudian suatu saat anda mempunyai rekan sejawat di tempat anda bekerja, katakanlah seorang sekretaris yang cukup cantik menurut anda, kemudian ada ketertarikan pada hati anda kepadanya sebagaimana tertariknya seorang laki laki kepada seorang wanita. Apa yang akan Anda lakukan ? Apakah anda akan melakukan pendekatan kepadanya untuk meneruskan ketertarikan tadi ke hubungan yang lebih serius dalam sebuah ikatan perkawinan; ataukah anda akan menundukkan pandangan, mencoba mengendalikan hati (me-manage qalbu ) anda dengan berusaha menghindari kontak dengannya ?
Sebagian dari anda barangkali akan menempuh jawaban pertama: anda merancang strategi untuk meneruskan ketertarikan anda ke hubungan yang lebih serius. Tentu saja, melalui pernikahan yang sah. Anda merasa bahwa anda boleh beristri lagi karena agama islam membolehkannya, tentu saja dengan syarat adil. Kecintaan (nafsu) anda kepada sang sekretaris tadi membuat anda begitu yakin bahwa anda akan dengan mudah memenuhi syarat tadi. Langkah pertama dan utama adalah: bagaimana anda memberitahukan hal itu kepada istri dan anak anak anda. Kalau anda mujur, anda akan sangat beruntung jika anda mempunyai istri yang karena besarnya ketaatannya kepada Allah, ia akan memberi jalan kepada anda untuk menggapai “cita – cita” anda. Istri anda “jauh lebih mulia” dari Fathimah putri kesayangan Rasulullah SAW; tatkala ia marah ketika Ali ra. akan menikah lagi. Sebuah kemarahan yang membuat Rasulullah SAW berpidato di muka umum, “Barangsiapa menyakiti hati Fathimah, berarti ia telah menyakiti hatiku”.
Tetapi kebanyakan istri anda pasti akan menolak. Maka langkah logis berikutnya anda akan “mendidik” istri anda agar ia bisa “menghalalkan apa yang Allah halalkan”. Kalau anda beruntung, proses “pendidikan” itu tidak akan memakan waktu yang lama. Tetapi kebanyakan istri anda akan membutuhkan waktu yang lama untuk itu. Kalau tidak kunjung faham, sementara anda semakin ngebet dengan sang sekretaris, maka anda akan menikahi sang sekretaris tanpa sepengatahuan istri anda. Toh, agama islam yang anda fahami tidak mempersyaratkan ijin istri pertama untuk pernikahan anda yang kedua. Anda yakin bhw dengan berjalannya waktu istri pertama anda akan bisa “ikhlas” dan “tabah” menerima kenyataan ini.
Ketika akhirnya semua orang mengetahui bahwa anda telah menikah lagi dengan sekretaris anda yang cantik, dengan bangga anda mengatakan bahwa apa yang telah anda lakukan adalah diperbolehkan di dalam agama islam. Bukan hanya itu, bahkan anda mengaku mengikuti sunnah rasulullah saw. Dengan mantap pula Anda berseru bahwa poligami lebih baik daripada selingkuh (baca: berzina).
Sungguh, bukan seperti itu islam yang selama ini saya kenal dan saya yakini. Dan saya yakin bahwa anda tidak sedang menegakkan sunnah, tetapi sesungguhnya anda sedang menghancurkan agama islam. Kalau boleh berimajinasi, seandainya rasulullah saw masih hidup, beliau akan sangat marah melihat kelakuan anda. (referensi: kemarahan nabi atas rencana Ali mem-poligami Fatimah di atas).
Islam yang saya kenal mengajarkan kepada para pengikutnya agar menundukkan pandangan mereka terhadap lawan jenis. Ketika anda tidak segera menghentikan ketertarikan anda dengan seorang perempuan dan justru memutuskan untuk mengikuti ketertarikan tersebut dengan hubungan lebih lanjut bahkan dengan pernikahan yang sah sekalipun, maka saat itulah anda telah berlaku tidak adil terhadap istri anda. Bagaimana anda akan bisa berlaku adil dalam suatu poligami kalau untuk memulainya saja anda awali dengan ketidakadilan? Islam yang saya fahami mengajarkan kepada saya, kalau saya tertarik kepada seorang perempuan, sedangkan saya mempunyai istri, maka saya diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan mendatangi istri saya untuk bersenang senang dan memperoleh kepuasan darinya. Bukan kemudian justru melakukan pendekatan kepada si perempuan tersebut, untuk kemudian secara diam diam menikahinya. Bukan! Bukan seperti itu islam yang saya kenal. Sungguh!
Islam yang saya kenal menjadikan monogamy sebagai default hubungan laki laki dan perempuan. Allah swt menciptakan satu orang Adam dan satu orang Hawa. Demikian pula anak anak Adam semuanya diciptakan berpasang pasangan: satu laki laki untuk satu perempuan.
Hanya saja, karena ulah sebagian manusia yang suka bermusuh musuhan dan menumpahkan darah sesama manusia, maka jumlah wanita pada masa masa perang lebih besar daripada jumlah laki laki. Demikian pula jumlah anak anak yatim yang kehilangan ayahnya membengkak. Dalam konteks inilah Islam memberikan solusi sosial terbaik: poligami. Dalam kondisi seperti ini para laki laki, karena kelebihan fisik yang dianugerahkan kepada mereka, diperbolehkan (bahkan dianjurkan) beristri lebih dari satu. Hal ini dikarenakan memang jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki laki. Terutama para janda yang masih memiliki anak anak kecil. Disamping anak anak tadi membutuhkan kehadiran figur ayah dalam masa pertumbuhan mereka, ibu ibu mereka juga membutuhkan suami untuk memenuhi kebutuhan mereka: baik kebutuhan yang bersifat ekonomis, sosial maupun biologis.
Karena pola hubungan monogamy adalah pola hubungan default yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana Allah pertama kali menciptakan satu orang Adam dan satu orang Hawa, maka Allah swt akan senantiasa mengembalikan komposisi 50 : 50 dalam jumlah laki laki dan perempuan, meskipun manusia sendiri yang merusak komposisi itu dengan peperangan. Pasca perang dunia II, perbandingan laki laki dan perempuan di Jerman dan negara – negara lain yang terlibat serius dalam perang mencapai 1 : 3. Namun tidak lebih dari 30 tahun setelah itu Allah swt sudah mengembalikan jumlah itu menjadi 1 : 1 kembali.
Disamping sebagai solusi dalam kondisi kondisi masyarakat yang abnormal, poligami juga merupakan jalan keluar untuk individu dalam kondisi yang abnormal. Kondisi abnormal dalam pengertian bahwa seseorang memerlukan untuk beristri (lagi) baik untuk alasan alasan yang bersifat privat maupun alasan alasan yang bersifat publik. Alasan pribadi misalnya untuk menghasilkan keturunan atau pemenuhan kebutuhan boilogis yang lain. Alasan yang bersifat publik misalnya pernikahan pernikahan politis – strategis untuk mendekatkan hubungan dua kelompok masyarakat.
Kebolehan poligami jelas merupakan kebolehan yang betul betul bersyarat ketat. Di masa masa damai seperti sekarang, dimana rasio laki laki dan perempuan masih seimbang, maka pola hubungan yang berlaku adalah monogamy. Dalam situasi seperti ini, maka perintah menikah adalah bagi mereka mereka yang bujang. Ketika ada seorang perempuan yang sudah cukup umur, tetapi tidak memiliki pasangan, baik karena belum menikah maupun berstatus janda, maka perintah menikahi mereka ditujukan kepada para laki laki yang belum punya pasangan; bukan laki laki yang sudah memiliki pasangan.
Ketika kemudian sebagian diantara kita mengingatkan bahwa poligami dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan karenanya poligami adalah sunnah Rasul, maka saya katakan bahwa dalam hal pernikahan, Rasulullah mengalami dua model: monogamy dan poligami. Rasulullah SAW melakukan monogamy dengan Siti Khadijah hingga akhir hayat Siti Khadijah. Dalam periode monogamy inilah beliau membesarkan anak anak beliau. Kalimat terakhir ini penting untuk dicatat, karena kalau kita mau konsisten mengikuti “sunnah” Rasulullah SAW, maka poligami tidak dilakukan ketika Rasulullah SAW sedang membesarkan putra putri beliau. Persinggungan saya dengan orang orang yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga pelaku poligami menunjukkan kepada saya bahwa mereka yang tumbuh dalam keluarga pelaku poligami cenderung mengalami trauma dan merasa dirinya sebagai korban poligami ayah mereka.
Periode poligami Rasulullah SAW dilakukan di masa perkembangan Islam, baik perkembangan ajaran agama Islam itu sendiri maupun perkembangan wilayah Islam. Semua pernikahan rasulullah SAW adalah dalam rangka dua hal tersebut. Pernikahan beliau dengan zaenab, mantan istri zaid, adalah pernikahan atas perintah Allah untuk kepentingan penjelasan status hukum anak angkat yang semula dikira menjadi anak kandung. Pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyyay adalah pernikahan yang dengan pernikahan itu ribuan ratusan Shafiyyah terbebas dari tawanan perang. Tidak satupun dari istri istri Rasulullah di masa pernikahan poligami Rasulullah SAW yang bisa memiliki anak yang tumbuh dewasa dari hasil pernikahan tersebut.
Poin saya adalah, tidak benar bahwa poligami adalah sunnah Rasul. Yang benar adalah: pernikahanlah yang di sunnahkan oleh Rasulullah SAW. Apakah pernikahan itu monogami atau poligami, Rasulullah SAW memberikan contoh bagaimana hendaknya kedua model tersebut dilaksanakan.
Sayangnya, tidak banyak diantara aktifis dakwah di negeri ini yang menyampaikan pandangan seperti tersebut diatas. Diskursus yang ada senantiasa berujung pada polarisasi mendukung dan menentang poligami. Lebih parah lagi isu poligami menjelma menjadi dikotomi Islam dan non Islam; dengan Islam sebagai pendukung poligami di satu sisi dan non Islam menjadi anti poligami di sisi yang satunya lagi. (Persis paradigma Bush : Either with us or against us.) Dari sisi dakwah, jelas ini adalah sesuatu yang kontra produktif. Di kalangan para feminis, Islam dengan wajah seperti ini semakin menguatkan justifikasi mereka bahwa Islam adalah agama pembelenggu perempuan. Di kalangan para muallaf, jelas wajah islam seperti ini akan membuat keraguan di hati mereka yang sebenarnya sudah mulai condong ke agama Islam yang hanif ini.
Kembali ke praktek poligami ala Aa Gym, telah terbukti bahwa praktek poligami beliau sangat tidak produktif dari kaca mata dakwah. Bukan hanya pengajian Aa Gym yang sepi dari pengunjung, tetapi hampir semua majelis pengajian terutama pengajian ibu ibu mengalami penurunan peserta. Kenyataan ini semestinya menjadi peringatan bagi kaum muslimin terutama aktifis dakwah untuk tidak gegabah melaksanakan praktek poligami; bahwa poligami tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Tidak sederhana dalam tinjauan syar’i maupun dalam praktek di masyarakat.
Sekali lagi, ini semua adalah ungkapan perasaan dan pengetahuan saya tentang bagaimana agama Islam yang sampai kepada saya memandang masalah poligami. Alangkah naïf apabila kemudian saya bersikukuh bahwa inilah Islam yang paling benar; toh pemahaman saya tentang berbagai persoalan di dalam agama ini mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Tetapi paling tidak, untuk saat ini, demikianlah pemahaman terbaik saya tentang poligami.
Mudah mudahan ungkapan perasaan ini bermanfaat bagi diri saya dan para pembaca semua.
CMIIW, Wallahu a’lam bis-showab.
Gonilan, 27 Agustus 2007.
Salam,
Rois